Secara kejiwaan, harapan merupakan sesuatu yang amat menentukan dalam hidup. Menurut orang-orang bijak, manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa memiliki harapan atau optimisme. Ini berarti, tanpa harapan, manusia sesungguhnya sudah mati dalam hidup. Bahkan, kehidupan ini akan terasa amat sempit jika tidak karena lapangnya harapan.
Agama Islam sangat menekankan soal harapan ini. Sampai-sampai orang yang menghadapi kematian (sakrat al-maut), masih harus diingatkan agar ia memiliki harapan, yakni harapan untuk mendapat rahmat dan pengampunan dari Allah SWT.
Dalam Alquran, harapan itu berbanding lurus dengan keimanan. Jadi, apabila ada iman berarti ada harapan dan bila tidak ada iman berarti tidak ada harapan. Orang yang putus asa dan tidak punya harapan diidentifikasi sebagai orang kafir. ''Sesungguhnya tiada putus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.'' (QS Yusuf: 87). Dalam ayat lain, orang yang putus asa diidentifikasi sebagai orang yang tersesat jalan. ''Tidak ada orang yang putus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat.'' (QS Al-Hijr: 56).
Harapan harus terus ditumbuhkan dan dibangun melalui tiga jalan. Pertama, dengan menjadikan Allah SWT sebagai sumber harapan (al-shamad). Kedua, dengan senantiasa membangun prasangka baik (husn al-dzann) kepada Allah SWT melalui amalan agama sehari-hari, seperti tasbih, tahmid, dan doa. Ketiga, dengan berusaha dan bekerja keras mewujudkan harapan itu.
Imam Qusyairi, sufi terkemuka abad ke-5 H membedakan secara tegas antara harapan (al raja') dan angan-angan (al-amami). Harapan, katanya, disertai oleh dukungan usaha dan kerja keras, sedangkan angan-angan tidak. Oleh karena itu, dikatakan, harapan adalah sesuatu yang terpuji (mahmud), sedangkan angan-angan adalah sesuatu yang tercela (madzmum).
Berkenaan dengan harapan untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat, maka harapan itu, menurut Qusyairi, hanya milik dua kelompok orang saja. Pertama, milik orang yang bekerja dan beramal saleh, lalu ia berharap amalnya diterima oleh Allah. Kedua, milik orang yang berbuat dosa, tapi kemudian bertobat, lalu ia berharap tobatnya diterima oleh Allah.
Harapan, kata Qusyairi, bukan milik orang yang berlumuran dosa dan terus tenggelam dalam dosa-dosa, lalu ia berharap ampunan dari Allah. Orang seperti ini tidak pantas menonjolkan harapan. Ia seyogianya menonjolkan rasa takut (khauf) supaya ia berhenti dari dosa-dosa (Kitab al-Risalah al-Qusyairiyah, 132).
Meskipun sebagai bangsa kita dilanda krisis berkepanjangan hingga kini, jangan sampai kita kehilangan harapan. Sebab, jika itu terjadi, sungguh kita sudah kehilangan segala-galanya. Na'udzu billah min dzalik!
Rabu, 20 Oktober 2010
Membangun Harapan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar